Pages

Friday, 23 December 2016

About Alessandro Nesta



RumahCerita.Com : -

Ada perpisahan yang aku sukai dan benci. Mungkin sebagian besar dari kita sering tidak jujur perihal perpisahan. Mengumbar-umbar kalau semua perpisahan semenyakitkan itu. Secara pribadi aku lebih suka untuk berterus terang kalau pada kenyataannya ada perpisahan yang memang aku sukai.

Perpisahan seperti ini adalah perpisahan yang aku harapkan dan aku sambut gembira, perpisahan yang pada dasarnya mampu menciptakan jarak yang lebih jauh bahkan tak terjangkau dengan hal-hal yang memuakkan bagiku. Tentang perpisahan yang dibenci, mungkin semua orang dapat dengan jujur mengakuinya. Sekeras apapun aku melawan, perpisahan semacam ini terkadang harus terjadi.

Dan apa yang membuatnya terasa memuakkan adalah bahwa dalam perpisahan, mau atau tidak mau aku harus menerima kenyataan kalau kebersamaan tidak lagi menjadi yang paling utama. Rasanya kata-kata yang dulu begitu bermakna menjadi sangat hambar, tindakan yang dulu begitu berguna benar-benar membuat rikuh.

Lantas tentang hal ini dunia dan sekelompok orang dengan kalimat-kalimat motivasi yang sering membuatku bertanya mengapa ada begitu banyak orang yang tergugah saat mendengarnya, berusaha meyakinkan kalau ada hal-hal yang tak mau dipisahkan oleh perpisahan – katanya ada semacam ikatan yang tetap mempersatukan. Aku tak menyangkal. Namun sebagai manusia rasanya aku juga membutuhkan hal-hal yang bersifat fisik, bukan melulu emosionil dan spiritual.

Lantas apa yang dia miliki pada awalnya hanya membuatku berprasangka kalau tidak ada yang istimewa tentangnya. Lelaki Italia yang mencari nafkah sebagai pesepakbola. Pesepakbola yang bertugas sebagai defender. Defender yang juga dianugerahi wajah tampan yang membuat banyak perempuan menggilainya.

Pada awalnya aku memang berprasangka, kalau ia tak ubahnya selebriti lapangan hijau dengan kemampuan tak seberapa. Aku pertama kali menyaksikannya merebut bola dari kaki para penyerang saat ia masih membela klub sepakbola tertua di kota Roma.

Namun atas alasan menyelamatkan finansial klub, ia harus merelakan diri untuk ke hengkang ke salah satu sudut kota Milan dan namanya pun seketika menjadi salah satu yang dielu-elukan oleh mereka yang berteriak tanpa henti di jejeran tribun-tribun penonton San Siro.

Katanya ia berhutang segalanya pada pria yang menjadi ayahnya. Pria yang membantunya menghidupi mimpi sebagai bagian dari sejarah Lazio, klub yang menjadi cinta dan pujaan ia dan keluarganya. Aku membayangkan pengorbanan seorang ayah hanya untuk menjamin bahwa anaknya dapat menjalani apa yang ingin dijalani.

Mungkin pada awalnya ia tak ubahnya anak-anak kelas pekerja biasa, bermain sepakbola di jalanan penuh debu khas distrik Cinecitt pada awal tahun delapan puluhan. Umurnya mungkin baru sekitar delapan tahun saat orang pertama yang menyadari kemampuan sepakbolanya yang berada di atas rata-rata mereka yang bermain sepakbola pada jam-jam pulang sekolah menawarkannya untuk bergabung bersama AS Roma.

Sang ayah tentu menolak, layaknya kita yang besar dengan budaya sungkan – ia tetap menyelipkan senyum, membubuhkan ucapan terimakasih namun menegaskan bahwa anaknya akan tumbuh dan besar bersama Lazio. Ah, semacam tamparan yang sakit dan bekasnya tak akan segera menghilang.<p> </p>Aku membayangkan kebanggaannya saat itu.

Sebagai seseorang yang mengagumi suatu klub sepakbola tertentu, rasanya aku hampir tidak dapat mengendalikan diri sendiri saat klub tersebut bertanding di hadapanku. Saat kami menginjak tanah yang sama, saat kami beratapkan langit yang sama. Apalagi ia yang bermain bagi klub yang menurut pengakuannya sudah menjadi bagi hati dan hidupnya.

Entah segirang apa ia saat pertama kali mengenakan jersey Biancocelesti, entah segugup apa ia saat pertama kali dikerumuni oleh ribuan fans, entah selarut apa ia saat pertama kali menyalahkan diri atas patahnya kaki seorang Paul Gascoigne.<p> </p>Bertahun-tahun menjalin rangkaian sejarah bersama apa yang dicintainya – sedikit-banyak tentu memberikannya rasa aman.

Rasa aman yang lama-kelamaan berganti menjadi kenaifan, kenaifan bahwa tidak akan ada satupun hal yang sanggup memisahkannya dengan klub tersebut. Wajar, saat apa yang dilakukannya bagi Lazio juga tidak setengah-tengah. Performanya yang konsisten, kesigapannya dalam mengawal lini belakang tim, pembawaannya yang tenang tanpa banyak bicara – klub seperti apa yang tidak ingin mempertahankan seorang pesepakbola semacam ini.

Pesepakbola papan atas yang popularitasnya terbentuk atas setiap jerih-payahnya di lapangan hijau, bukannya skandal dan kontroversi tanpa makna.<p> </p>Namun setenang apapun langit, terkadang badai itu datang juga. Badai yang mau-tidak mau harus membuatmu terhempas begitu jauh dari apa yang kamu anggap sebagai pusat kehidupanmu, badai sialan yang bernama krisis finansial. Ia adalah salah satu defender terbaik yang dimiliki Italia.

Wajar jika ada begitu banyak klub yang menginginkannya, wajar bila namanya begitu menjual. Menjual pesepakbola sekaliber dia mungkin memang berdampak buruk kepada performa tim. Namun tidak ada yang lebih buruk daripada kebangkrutan sebuah klub. Performa yang buruk dapat dibenahi dengan skuad yang ada, tetapi bagaimana mungkin hal ini dapat dilakukan jika perusahaan sedang mengalami kesulitan finansial?

Mungkin atas dasar pemikiran seperti inilah mereka rela menjual salah satu pria terbaik yang mereka miliki.<p> </p>Mudah saja bagi sebuah klub untuk kehilangan pemain. Ungkapan kehilangan, kesedihan dan iming-iming tidak akan melupakan mereka yang pergi adalah omongan manis belaka. Selama klub dapat memberikan pundi-pundi uang, selama klub dapat menafkahi mereka yang bekerja di dalamnya, selama klub menarik minat banyak sponsor raksasa – semuanya akan baik-baik saja.

Mereka akan segera menemukan pengganti pemain yang pergi dan bila beruntung mendapatkan gelar juara, pemain baru itu akan disebut-sebut sebagai pahlawan atau paling tidak dilabeli dengan julukan “next” yang diakhiri dengan nama pemain yang telah meninggalkan klub dan kebetulan memiliki peran sama. Bukannya mengumbar sarkasme, tetapi dewasa ini sepakbola adalah tambang emas bagi jajaran manejerial klub.

Mungkin yang menganggapnya sebagai bentuk dari sebuah romantisme hanyalah kita para fans dan sejumlah pesepakbola atau pelatih saja.<p> </p>Sang defender ulung ini mungkin serupa kita. Tak hanya memuaskan hasrat berlarian dari satu lapangan ke lapangan lain, tetapi juga meyakini sepakbola sebagai bentuk romantisme terbaik yang pantas dihidupi. Tak hanya mendulang kekayaan, tetapi juga mendulang kebahagiaan sebagai manusia dan pesepakbola.

Tak hanya melihat kerumunan mereka yang menganggapnya sebagai idola, tetapi juga melihat loyalitas dan cinta yang tak pernah kalah oleh situasi apapun. Namun seindah dan semegah apapun itu, pada akhirnya ia memang harus pergi.<p> </p>Seingatku, laga derby mereka pada tanggal 10 Maret 2002 adalah salah satu laga terburuknya.

Sebuah laga yang mempertontonkan superioritas sang pesawat kecil, Vincenzo Montella. Waktu itu ia seolah-olah dapat mencetak gol kapanpun ia mau. Sekitar satu minggu pasca kemenangan Roma kala itu, aku mulai memaklumi kekalahan Lazio berikut buruknya performa sang defender. Jadi, bayangkan saja kalau kalian harus menjalani laga sarat emosi seperti itu.

Laga yang berarti pertaruhan harga diri, laga yang mengharuskan siapapun untuk memberikan yang terbaik. Aku percaya kalau ia memahami betul hal-hal semacam ini. Namun di satu sisi, ia juga menjadi pihak yang dipertaruhkan demi menyelamatkan keuangan klub. Masa depannya sebagai pesepakbola dipertaruhkan. Bagaimana tidak? Di klub ini ia mendapatkan segalanya yang ia butuhkan.

Dan bukan hanya masa depan sebagai pesepakbola, kemanusiaannya sebagai pesepakbola pun ikut dipertaruhkan. Coba bayangkan bagaimana rasanya saat harus menjalani laga demi laga bersama klub yang tidak ia cintai. Rasanya seperti kita yang menjalani pekerjaan yang tak kita sukai atas dasar kebutuhan materi belaka. Aku tidak tahu pasti, tetapi jika aku dapat menggantikannya waktu itu – mungkin yang ada di pikiranku hanyalah perpisahan yang memuakkan.

Perpisahan yang aku benci, perpisahan yang berarti akhir dari apa yang aku yakini sebagai sepakbolaku.<p> </p>Aku paham rasanya saat ia berdiri di balkon sambil melambai-lambaikan jersey, mengacungkan tinju ke udara dengan iringan chants kebanggaan klub, melemparkan senyum palsu kepada mereka yang berteriak-teriak di bawah yang menganggapmu sebagai pahlawan baru.

Secara kasat mata mungkin pesta penyambutan ini memang melenakan, tetapi saat kamu sadar bahwa kamu hanyalah seonggok boneka yang harus berpura-pura – sanjungan semacam itu tak ubahnya siksaan batin. Terlebih lagi luka akibat perpisahan tidak serta-merta dapat disembuhkan dengan elu-elu semacam itu, kekosongan karena perpisahan tidak langsung dapat terisi dengan hal-hal baru sebesar apapun itu.

Namun pada dasarnya, sepakbola hanya memberikanmu kesempatan selama sembilan puluh menit untuk mengalahkan lawan – dan tampaknya tidak ada waktu untuk berlarut-larut dalam perasaan manusiawi semacam itu.<p> </p>Tahun-tahun pertamanya di Milan terbilang sukses. UEFA Champions League, Coppa Italia, European Super Cup dan Scudetto adalah sejumlah gelar yang berhasil dikantonginya bersama Milan. Mungkin di era itu orang-orang memuja Andriy Shevchenko, Pippo Inzaghi, Rui Costa ataupun Ricardo Kaka sebagai pahlawan yang kerap memberikan kemenangan bagi Milan.

Namun ia ada di sana. Bersanding bersama Paolo Maldini, Jap Stam dan Cafu mengamankan barisan pertahanan Milan. Bukan hanya sekadar pengamanan, lini belakang Milan kala itu juga diakui sebagai lini belakang terbaik yang pernah ada di Italia. Lini belakang yang membuat Milan hanya kebobolan dua puluh empat gol di sepanjang musim.<p> </p>Waktu itu akhir dari bulan Oktober 2009.

Milan sudah ketinggalan 1-0 dari tim tuan rumah Chievo di Stadion Marc Antonio Bentegodi, di hadapan dua puluh ribu fans lokal mereka. Seingatku, tidak sampai menit ke sepuluh gawang Milan yang dikawal oleh Nelson Dida sudah kebobolan. Di babak kedua pun Milan tampak melakukan segalanya untuk mencetak gol. Namun apa daya, penjaga gawang Chievo saat itu - Stefano Sorrentino juga tak rela gawangnya dibobol oleh anak-anak asuh Leonardo.

Dalam formasi 4-2-1-3 waktu itu, Leonardo benar-benar memaksimalkan peranan defender yang satu ini dengan tujuan untuk mengantisipasi agar kaki lelah seorang Andrea Pirlo tidak mengacaukan segalanya di lini tengah. Wajar mengingat peranan vital Pirlo saat itu, di setiap pertandingan tampaknya ia selalu menjadi yang paling lelah. Namun entah di menit ke berapa, yang pasti aku mengingat bahwa Thiago Silva terjatuh saat berusaha mengacaukan pergerakan Sergio Pellissier.

Dan di menit-menit inilah aku menyaksikan bagaimana keindahan seni defending yang kerap ia usung. Di saat pemain lain tampak pasrah dan tak tahu harus berbuat apa, ia tampil sebagai pesepakbola yang tidak menyerah begitu saja. Berlari sendirian mengejar Sergio Pellissier, memberikan tackle dengan akurasi tinggi dan menyelamatkan gawang Nelson Dida. Gawan Milan selamat, diselamatkan oleh seorang pesepakbola gaek berusia tiga puluh tiga tahun.

Bukan hanya mengamankan gawang, di menit delapan puluhan sundulannya yang memanfaatkan tendangan Boriello yang hanya menyentuh mistar gawang menyelamatkan Milan dari kekalahan. Dan pada injury time, bola sundulan dari kepala yang sama membawa Milan kepada kemenangan atas tim tuan rumah.<p> </p>Buatku pribadi, menikmati sepakbola Italia berarti menikmati aksi defender papan atas.

Bukannya menganggap gol dan posisi lain tidak penting, namun sejak dulu menahan nafas saat para defender melakukan aksi penyelamatannya seolah-olah menjadi adiksi tersendiri. Adalah benar bahwa aku tetap mengharapkan gol-gol indah tercipta, penonton sepakbola mana yang tidak mengharapkan hal ini - namun saat aku menyaksikan mereka menarik jersey dan menyikut pemain lawan demi mematahkan setiap peluang, rasanya seperti ada orgasme aneh nan abstrak.

Bersikaplah dewasa, tak ada hal lain yang mau kalian ingat saat sedang berorgasme – semacam kenikmatan dengan elegansi yang menjadi milik kalian sendiri. Pesepakbola ini pun termasuk ke dalamnya, sebagian besar aksinya di lini belakang sanggup membuatku lupa kalau menang-kalahnya sebuah tim ditentukan oleh banyaknya gol.<p> </p>Aku berharap dia tetap bersama Milan, bersepakbola di liga yang menjadi kesayanganku sejak kecil. Sekonyol apapun itu, rasanya aku tidak rela kalau ia harus bermain di liga lain.

Namun badai yang sepuluh tahun lalu harus membuatnya hengkang dari kehidupan klub yang dicintainya kembali mengamuk. Memorak-porandakan raksasa sepakbola Italia. Memang ada banyak rumor terkait soal kepindahannya. Keuangan klub yang morat-marit, ketidakharmonisan dengan pelatih, keputusan untuk gantung sepatu – apapun itu pada akhirnya ia harus kembali berhadapan dengan perpisahan.

Perpisahan dengan apa yang sudah bisa dicintainya selama sepuluh tahun terakhir – mungkin tidak sebesar cinta pertamanya, namun selama sepuluh tahun ia tidak hanya memberikan keringat dan kekuatan ototnya – tetapi juga otak, hati dan gairah. Perpisahan kali ini benar-benar berbeda.

Perpisahan yang membuatnya harus terbang ke benua lain, perpisahan yang membuat aksinya begitu dirindukan oleh mereka yang memuja art of defending di tengah-tengah sepakbola Italia yang sudah tak seperti dulu lagi.<p> </p>Beberapa hari terakhir aku membaca wawancaranya. Wawancara tentang keputusannya untuk gantung sepatu di akhir musim ini. Aku mereka-reka akan sekehilangan apa dunia sepakbola saat ia benar-benar pensiun.

Kalau boleh jujur, aku pun tidak habis pikir tentang perjalanan karirnya. Memutuskan untuk hidup dan besar bersama sepakbola dengan alasan cinta dan loyalitas, melakoni laga demi laga dengan tidak setengah-setengah, bersusah payah sembuh dari cidera berkepanjangan dan tampil kembali dengan kualitas yang tak kalah oleh umur – pada akhirnya perpisahan demi perpisahan adalah hal yang kerap harus ia hadapi, perpisahan dengan hal-hal yang memang begitu dicintainya.<p> </p>Jadi aku membayangkan akhir musim nanti. Tidak akan ada pesta perpisahan. Laga terakhir, standing ovation, ucapan terima kasih, jamuan makan, pemutaran video – semuanya memang berwujud semarak pesta.

Kemeriahan sebagai wujud dari cinta mereka kepada defender ini. Namun di balik segala hingar-bingar itu, semunya tentang kehilangan. Tentang kesenduan dari mereka yang memuja kekokohan pesepakbola ini, yang pada kenyataannya sudah mulai merebak beberapa hari terakhir. Ada banyak pesepakbola hebat di dunia ini, tetapi mungkin dia menjadi salah satu dari sedikit pesepakbola yang akan ditangisi banyak orang – tak perduli fans manapun – saat benar-benar pergi dari dunia yang membesarkan namanya ini. Walaupun ceritanya bersama sepakbola belum sepenuhnya berakhir, namun tetap saja akan ada kekosongan saat namanya tidak lagi tercatat sebagai pesepakbola. Namanya jelas akan tercatat sebagai legenda.

Di saat ia merindukan merumput sebagai seorang pesepakbola mungkin ia dan teman-temannya sesama veteran akan menjalani sejumlah laga atas nama amal dan persahabatan. Dan seandainya diberi kesempatan untuk menyaksikan laga semacam itu bersama siapapun yang nantinya akan aku sebut anak, aku akan menjelaskan bahwa pesepakbola gaek yang kerap mematahkan berbagai peluang emas yang ternyata juga dianugerahi senyuman manis yang meneduhkan itu bernama Alessandro Nesta.<p> </p><p> </p>
Ditulis oleh : Marini Anggitya


No comments:
Write comments

Recommended Posts × +