RumahCerita.Com : -
Ada perpisahan yang aku sukai dan
benci. Mungkin sebagian besar dari kita sering tidak jujur perihal perpisahan.
Mengumbar-umbar kalau semua perpisahan semenyakitkan itu. Secara pribadi aku
lebih suka untuk berterus terang kalau pada kenyataannya ada perpisahan yang
memang aku sukai.
Perpisahan seperti ini adalah
perpisahan yang aku harapkan dan aku sambut gembira, perpisahan yang pada
dasarnya mampu menciptakan jarak yang lebih jauh bahkan tak terjangkau dengan
hal-hal yang memuakkan bagiku. Tentang perpisahan yang dibenci, mungkin semua
orang dapat dengan jujur mengakuinya. Sekeras apapun aku melawan, perpisahan
semacam ini terkadang harus terjadi.
Dan apa yang membuatnya terasa
memuakkan adalah bahwa dalam perpisahan, mau atau tidak mau aku harus menerima
kenyataan kalau kebersamaan tidak lagi menjadi yang paling utama. Rasanya
kata-kata yang dulu begitu bermakna menjadi sangat hambar, tindakan yang dulu
begitu berguna benar-benar membuat rikuh.
Lantas tentang hal ini dunia dan
sekelompok orang dengan kalimat-kalimat motivasi yang sering membuatku bertanya
mengapa ada begitu banyak orang yang tergugah saat mendengarnya, berusaha
meyakinkan kalau ada hal-hal yang tak mau dipisahkan oleh perpisahan – katanya
ada semacam ikatan yang tetap mempersatukan. Aku tak menyangkal. Namun sebagai
manusia rasanya aku juga membutuhkan hal-hal yang bersifat fisik, bukan melulu
emosionil dan spiritual.
Lantas apa yang dia miliki pada
awalnya hanya membuatku berprasangka kalau tidak ada yang istimewa tentangnya.
Lelaki Italia yang mencari nafkah sebagai pesepakbola. Pesepakbola yang
bertugas sebagai defender. Defender yang juga dianugerahi wajah tampan yang
membuat banyak perempuan menggilainya.
Pada awalnya aku memang
berprasangka, kalau ia tak ubahnya selebriti lapangan hijau dengan kemampuan
tak seberapa. Aku pertama kali menyaksikannya merebut bola dari kaki para
penyerang saat ia masih membela klub sepakbola tertua di kota Roma.
Namun atas alasan menyelamatkan
finansial klub, ia harus merelakan diri untuk ke hengkang ke salah satu sudut
kota Milan dan namanya pun seketika menjadi salah satu yang dielu-elukan oleh
mereka yang berteriak tanpa henti di jejeran tribun-tribun penonton San Siro.
Katanya ia berhutang segalanya
pada pria yang menjadi ayahnya. Pria yang membantunya menghidupi mimpi sebagai
bagian dari sejarah Lazio, klub yang menjadi cinta dan pujaan ia dan
keluarganya. Aku membayangkan pengorbanan seorang ayah hanya untuk menjamin
bahwa anaknya dapat menjalani apa yang ingin dijalani.
Mungkin pada awalnya ia tak
ubahnya anak-anak kelas pekerja biasa, bermain sepakbola di jalanan penuh debu
khas distrik Cinecitt pada awal tahun delapan puluhan. Umurnya mungkin baru
sekitar delapan tahun saat orang pertama yang menyadari kemampuan sepakbolanya
yang berada di atas rata-rata mereka yang bermain sepakbola pada jam-jam pulang
sekolah menawarkannya untuk bergabung bersama AS Roma.
Sang ayah tentu menolak, layaknya
kita yang besar dengan budaya sungkan – ia tetap menyelipkan senyum,
membubuhkan ucapan terimakasih namun menegaskan bahwa anaknya akan tumbuh dan
besar bersama Lazio. Ah, semacam tamparan yang sakit dan bekasnya tak akan
segera menghilang.<p> </p>Aku membayangkan kebanggaannya saat
itu.
Sebagai seseorang yang mengagumi
suatu klub sepakbola tertentu, rasanya aku hampir tidak dapat mengendalikan
diri sendiri saat klub tersebut bertanding di hadapanku. Saat kami menginjak
tanah yang sama, saat kami beratapkan langit yang sama. Apalagi ia yang bermain
bagi klub yang menurut pengakuannya sudah menjadi bagi hati dan hidupnya.
Entah segirang apa ia saat
pertama kali mengenakan jersey Biancocelesti, entah segugup apa ia saat pertama
kali dikerumuni oleh ribuan fans, entah selarut apa ia saat pertama kali
menyalahkan diri atas patahnya kaki seorang Paul
Gascoigne.<p> </p>Bertahun-tahun menjalin rangkaian sejarah
bersama apa yang dicintainya – sedikit-banyak tentu memberikannya rasa aman.
Rasa aman yang lama-kelamaan
berganti menjadi kenaifan, kenaifan bahwa tidak akan ada satupun hal yang
sanggup memisahkannya dengan klub tersebut. Wajar, saat apa yang dilakukannya
bagi Lazio juga tidak setengah-tengah. Performanya yang konsisten, kesigapannya
dalam mengawal lini belakang tim, pembawaannya yang tenang tanpa banyak bicara
– klub seperti apa yang tidak ingin mempertahankan seorang pesepakbola semacam
ini.
Pesepakbola papan atas yang
popularitasnya terbentuk atas setiap jerih-payahnya di lapangan hijau, bukannya
skandal dan kontroversi tanpa makna.<p> </p>Namun setenang
apapun langit, terkadang badai itu datang juga. Badai yang mau-tidak mau harus
membuatmu terhempas begitu jauh dari apa yang kamu anggap sebagai pusat
kehidupanmu, badai sialan yang bernama krisis finansial. Ia adalah salah satu
defender terbaik yang dimiliki Italia.
Wajar jika ada begitu banyak klub
yang menginginkannya, wajar bila namanya begitu menjual. Menjual pesepakbola
sekaliber dia mungkin memang berdampak buruk kepada performa tim. Namun tidak
ada yang lebih buruk daripada kebangkrutan sebuah klub. Performa yang buruk
dapat dibenahi dengan skuad yang ada, tetapi bagaimana mungkin hal ini dapat
dilakukan jika perusahaan sedang mengalami kesulitan finansial?
Mungkin atas dasar pemikiran
seperti inilah mereka rela menjual salah satu pria terbaik yang mereka
miliki.<p> </p>Mudah saja bagi sebuah klub untuk kehilangan
pemain. Ungkapan kehilangan, kesedihan dan iming-iming tidak akan melupakan
mereka yang pergi adalah omongan manis belaka. Selama klub dapat memberikan
pundi-pundi uang, selama klub dapat menafkahi mereka yang bekerja di dalamnya,
selama klub menarik minat banyak sponsor raksasa – semuanya akan baik-baik
saja.
Mereka akan segera menemukan
pengganti pemain yang pergi dan bila beruntung mendapatkan gelar juara, pemain
baru itu akan disebut-sebut sebagai pahlawan atau paling tidak dilabeli dengan
julukan “next” yang diakhiri dengan nama pemain yang telah meninggalkan klub
dan kebetulan memiliki peran sama. Bukannya mengumbar sarkasme, tetapi dewasa
ini sepakbola adalah tambang emas bagi jajaran manejerial klub.
Mungkin yang menganggapnya
sebagai bentuk dari sebuah romantisme hanyalah kita para fans dan sejumlah
pesepakbola atau pelatih saja.<p> </p>Sang defender ulung ini
mungkin serupa kita. Tak hanya memuaskan hasrat berlarian dari satu lapangan ke
lapangan lain, tetapi juga meyakini sepakbola sebagai bentuk romantisme terbaik
yang pantas dihidupi. Tak hanya mendulang kekayaan, tetapi juga mendulang
kebahagiaan sebagai manusia dan pesepakbola.
Tak hanya melihat kerumunan
mereka yang menganggapnya sebagai idola, tetapi juga melihat loyalitas dan
cinta yang tak pernah kalah oleh situasi apapun. Namun seindah dan semegah
apapun itu, pada akhirnya ia memang harus
pergi.<p> </p>Seingatku, laga derby mereka pada tanggal 10
Maret 2002 adalah salah satu laga terburuknya.
Sebuah laga yang mempertontonkan
superioritas sang pesawat kecil, Vincenzo Montella. Waktu itu ia seolah-olah
dapat mencetak gol kapanpun ia mau. Sekitar satu minggu pasca kemenangan Roma
kala itu, aku mulai memaklumi kekalahan Lazio berikut buruknya performa sang
defender. Jadi, bayangkan saja kalau kalian harus menjalani laga sarat emosi
seperti itu.
Laga yang berarti pertaruhan
harga diri, laga yang mengharuskan siapapun untuk memberikan yang terbaik. Aku
percaya kalau ia memahami betul hal-hal semacam ini. Namun di satu sisi, ia
juga menjadi pihak yang dipertaruhkan demi menyelamatkan keuangan klub. Masa
depannya sebagai pesepakbola dipertaruhkan. Bagaimana tidak? Di klub ini ia
mendapatkan segalanya yang ia butuhkan.
Dan bukan hanya masa depan
sebagai pesepakbola, kemanusiaannya sebagai pesepakbola pun ikut dipertaruhkan.
Coba bayangkan bagaimana rasanya saat harus menjalani laga demi laga bersama
klub yang tidak ia cintai. Rasanya seperti kita yang menjalani pekerjaan yang
tak kita sukai atas dasar kebutuhan materi belaka. Aku tidak tahu pasti, tetapi
jika aku dapat menggantikannya waktu itu – mungkin yang ada di pikiranku
hanyalah perpisahan yang memuakkan.
Perpisahan yang aku benci,
perpisahan yang berarti akhir dari apa yang aku yakini sebagai
sepakbolaku.<p> </p>Aku paham rasanya saat ia berdiri di
balkon sambil melambai-lambaikan jersey, mengacungkan tinju ke udara dengan
iringan chants kebanggaan klub, melemparkan senyum palsu kepada mereka yang
berteriak-teriak di bawah yang menganggapmu sebagai pahlawan baru.
Secara kasat mata mungkin pesta
penyambutan ini memang melenakan, tetapi saat kamu sadar bahwa kamu hanyalah
seonggok boneka yang harus berpura-pura – sanjungan semacam itu tak ubahnya
siksaan batin. Terlebih lagi luka akibat perpisahan tidak serta-merta dapat
disembuhkan dengan elu-elu semacam itu, kekosongan karena perpisahan tidak
langsung dapat terisi dengan hal-hal baru sebesar apapun itu.
Namun pada dasarnya, sepakbola
hanya memberikanmu kesempatan selama sembilan puluh menit untuk mengalahkan
lawan – dan tampaknya tidak ada waktu untuk berlarut-larut dalam perasaan
manusiawi semacam itu.<p> </p>Tahun-tahun pertamanya di Milan
terbilang sukses. UEFA Champions League, Coppa Italia, European Super Cup dan
Scudetto adalah sejumlah gelar yang berhasil dikantonginya bersama Milan.
Mungkin di era itu orang-orang memuja Andriy Shevchenko, Pippo Inzaghi, Rui
Costa ataupun Ricardo Kaka sebagai pahlawan yang kerap memberikan kemenangan
bagi Milan.
Namun ia ada di sana. Bersanding
bersama Paolo Maldini, Jap Stam dan Cafu mengamankan barisan pertahanan Milan.
Bukan hanya sekadar pengamanan, lini belakang Milan kala itu juga diakui
sebagai lini belakang terbaik yang pernah ada di Italia. Lini belakang yang
membuat Milan hanya kebobolan dua puluh empat gol di sepanjang musim.<p> </p>Waktu
itu akhir dari bulan Oktober 2009.
Milan sudah ketinggalan 1-0 dari
tim tuan rumah Chievo di Stadion Marc Antonio Bentegodi, di hadapan dua puluh
ribu fans lokal mereka. Seingatku, tidak sampai menit ke sepuluh gawang Milan
yang dikawal oleh Nelson Dida sudah kebobolan. Di babak kedua pun Milan tampak
melakukan segalanya untuk mencetak gol. Namun apa daya, penjaga gawang Chievo
saat itu - Stefano Sorrentino juga tak rela gawangnya dibobol oleh anak-anak
asuh Leonardo.
Dalam formasi 4-2-1-3 waktu itu,
Leonardo benar-benar memaksimalkan peranan defender yang satu ini dengan tujuan
untuk mengantisipasi agar kaki lelah seorang Andrea Pirlo tidak mengacaukan
segalanya di lini tengah. Wajar mengingat peranan vital Pirlo saat itu, di
setiap pertandingan tampaknya ia selalu menjadi yang paling lelah. Namun entah
di menit ke berapa, yang pasti aku mengingat bahwa Thiago Silva terjatuh saat
berusaha mengacaukan pergerakan Sergio Pellissier.
Dan di menit-menit inilah aku
menyaksikan bagaimana keindahan seni defending yang kerap ia usung. Di saat
pemain lain tampak pasrah dan tak tahu harus berbuat apa, ia tampil sebagai
pesepakbola yang tidak menyerah begitu saja. Berlari sendirian mengejar Sergio
Pellissier, memberikan tackle dengan akurasi tinggi dan menyelamatkan gawang
Nelson Dida. Gawan Milan selamat, diselamatkan oleh seorang pesepakbola gaek
berusia tiga puluh tiga tahun.
Bukan hanya mengamankan gawang,
di menit delapan puluhan sundulannya yang memanfaatkan tendangan Boriello yang
hanya menyentuh mistar gawang menyelamatkan Milan dari kekalahan. Dan pada
injury time, bola sundulan dari kepala yang sama membawa Milan kepada
kemenangan atas tim tuan rumah.<p> </p>Buatku pribadi,
menikmati sepakbola Italia berarti menikmati aksi defender papan atas.
Bukannya menganggap gol dan
posisi lain tidak penting, namun sejak dulu menahan nafas saat para defender
melakukan aksi penyelamatannya seolah-olah menjadi adiksi tersendiri. Adalah
benar bahwa aku tetap mengharapkan gol-gol indah tercipta, penonton sepakbola
mana yang tidak mengharapkan hal ini - namun saat aku menyaksikan mereka
menarik jersey dan menyikut pemain lawan demi mematahkan setiap peluang,
rasanya seperti ada orgasme aneh nan abstrak.
Bersikaplah dewasa, tak ada hal
lain yang mau kalian ingat saat sedang berorgasme – semacam kenikmatan dengan
elegansi yang menjadi milik kalian sendiri. Pesepakbola ini pun termasuk ke
dalamnya, sebagian besar aksinya di lini belakang sanggup membuatku lupa kalau
menang-kalahnya sebuah tim ditentukan oleh banyaknya
gol.<p> </p>Aku berharap dia tetap bersama Milan, bersepakbola
di liga yang menjadi kesayanganku sejak kecil. Sekonyol apapun itu, rasanya aku
tidak rela kalau ia harus bermain di liga lain.
Namun badai yang sepuluh tahun
lalu harus membuatnya hengkang dari kehidupan klub yang dicintainya kembali
mengamuk. Memorak-porandakan raksasa sepakbola Italia. Memang ada banyak rumor
terkait soal kepindahannya. Keuangan klub yang morat-marit, ketidakharmonisan
dengan pelatih, keputusan untuk gantung sepatu – apapun itu pada akhirnya ia
harus kembali berhadapan dengan perpisahan.
Perpisahan dengan apa yang sudah
bisa dicintainya selama sepuluh tahun terakhir – mungkin tidak sebesar cinta
pertamanya, namun selama sepuluh tahun ia tidak hanya memberikan keringat dan
kekuatan ototnya – tetapi juga otak, hati dan gairah. Perpisahan kali ini
benar-benar berbeda.
Perpisahan yang membuatnya harus
terbang ke benua lain, perpisahan yang membuat aksinya begitu dirindukan oleh
mereka yang memuja art of defending di tengah-tengah sepakbola Italia yang
sudah tak seperti dulu lagi.<p> </p>Beberapa hari terakhir aku
membaca wawancaranya. Wawancara tentang keputusannya untuk gantung sepatu di
akhir musim ini. Aku mereka-reka akan sekehilangan apa dunia sepakbola saat ia
benar-benar pensiun.
Kalau boleh jujur, aku pun tidak
habis pikir tentang perjalanan karirnya. Memutuskan untuk hidup dan besar
bersama sepakbola dengan alasan cinta dan loyalitas, melakoni laga demi laga
dengan tidak setengah-setengah, bersusah payah sembuh dari cidera berkepanjangan
dan tampil kembali dengan kualitas yang tak kalah oleh umur – pada akhirnya
perpisahan demi perpisahan adalah hal yang kerap harus ia hadapi, perpisahan
dengan hal-hal yang memang begitu dicintainya.<p> </p>Jadi aku
membayangkan akhir musim nanti. Tidak akan ada pesta perpisahan. Laga terakhir,
standing ovation, ucapan terima kasih, jamuan makan, pemutaran video – semuanya
memang berwujud semarak pesta.
Kemeriahan sebagai wujud dari
cinta mereka kepada defender ini. Namun di balik segala hingar-bingar itu,
semunya tentang kehilangan. Tentang kesenduan dari mereka yang memuja kekokohan
pesepakbola ini, yang pada kenyataannya sudah mulai merebak beberapa hari
terakhir. Ada banyak pesepakbola hebat di dunia ini, tetapi mungkin dia menjadi
salah satu dari sedikit pesepakbola yang akan ditangisi banyak orang – tak
perduli fans manapun – saat benar-benar pergi dari dunia yang membesarkan
namanya ini. Walaupun ceritanya bersama sepakbola belum sepenuhnya berakhir,
namun tetap saja akan ada kekosongan saat namanya tidak lagi tercatat sebagai
pesepakbola. Namanya jelas akan tercatat sebagai legenda.
Di saat ia merindukan merumput
sebagai seorang pesepakbola mungkin ia dan teman-temannya sesama veteran akan
menjalani sejumlah laga atas nama amal dan persahabatan. Dan seandainya diberi
kesempatan untuk menyaksikan laga semacam itu bersama siapapun yang nantinya
akan aku sebut anak, aku akan menjelaskan bahwa pesepakbola gaek yang kerap
mematahkan berbagai peluang emas yang ternyata juga dianugerahi senyuman manis
yang meneduhkan itu bernama Alessandro
Nesta.<p> </p><p> </p>
Ditulis oleh : Marini Anggitya
No comments:
Write comments